JURNALREALITAS.COM, OPINI – Bulan Ramadhan sebentar lagi. Bila terlihat hilal, maka tiba masa puasa. Setiap bulan suci ini umat Islam diwajibkan melakukan ibadah puasa, meski bulan Ramadhan 1442 H yang akan dilewati umat Islam di tahun 2021 mungkin tidak jauh beda dengan Ramadhan 1441 H karena berlangsung di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Sebagian ulama mendefinisikan, puasa adalah menahan nafsu dua anggota badan, perut dan alat kelamin sehari penuh, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan memakai niat tertentu. Sedangkan puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaûm – keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Shaa-ma, berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain.
Kewajiban puasa Ramadhan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.Salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang paling terkenal tentang rukun Islam adalah yang berbunyi : Islam didirikan atas 5 perkara; [1] Bersyahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya, [2] Mendirikan shalat, [3] Menunaikan zakat, [4] Berpuasa di bulan Ramadhan, dan [5] Melaksanakan haji bagi yang mampu. Hadits tersebut sangat populer di kalangan muslim karena menjadi tiang atau dasar bagi sendi-sendi syariat Islam. Selain karena menjadi tiang, alasan kepopuleran lainnya adalah karena Nabi Muhammad SAW menjelaskan rukun-rukun itu ketika malaikat Jibrîl yang menjelma menjadi seorang pemuda menanyakannya.
Bulan Ramadhan bisa diibaratkan sebagai lahan subur yang siap ditaburi benih-benih kebijakan. Siapa yang menabur, maka ia akan menuai hasil sesuai yg ditanam. Siapa yang melatih diri dalam bentuk menahan diri dengan berpuasa, niscaya ia akan sukses menghadapi segala tantangan ke depan.
Semua orang dipersilahkan menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Bagi yang lalai, tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna. Dari sini sangat penting memanfaatkan lahan itu dan penting pula memilih benih yang ditabur.
Puasa merupakan cara yang paling efektif untuk melatih diri menghadapi segala tantangan yang merupakan syarat mutlak untuk meraih kesenangan dan kesejahteraan. Ia dibutuhkan oleh setiap orang, baik kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, manusia modern yang hidup masa kini maupun manusia primitif yang hidup masa lalu.
Karena itu, cara yang paling efektif untuk menciptakan kemampuan itu adalah berpuasa. Itu pula sebabnya kenapa sejak dahulu hingga kini putera-puteri Adam berpuasa dengan berbagai tujuan. Bahkan, tidak jarang mereka sendiri yang mewajibkan atas dirinya, Agaknya, itu sebabnya al-Qur’an menggunakan kata “diwajibkan” pada firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (al-Baqarah: 183). Puasa dibutuhkan oleh setiap manusia kapan dan di manapun, maka tidak heran jika semua agama mengenalnya. Bukan hanya agama-agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi selainnya pun berpuasa.
Para pakar perbandingan agama menyebutkan bahwa orang-orang Mesir Kuno pun – sebelum mereka mengenal agama samawi – telah mengenal puasa. Dari mereka praktek puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sebanyak 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang dipercaya sebagai bintang nasib, dan juga kepada matahari.
Walaupun inti dari setiap puasa adalah menahan diri, namun cara dan tujuan akhirnya berbeda-beda antara satu agama dengan agama lain, bahkan boleh jadi antara seorang dengan orang lain. Dari sini diperlukan pengetahuan tentang tata cara puasa menurut tuntunan agama serta tujuan pokoknya, bahkan diperlukan pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan kehadirannya dan benih-benih apa saja yang harus ditabur pada lahannya.
Amalan berpuasa memang telah lama menjadi ritual agama-agama di dunia. Tatkala amalan ini menjadi perhatian dunia apabila umat Islam seluruh dunia berpuasa serentak pada bulan Ramadhan, amalan berpuasa ini telah lebih awal menjadi amalan lazim masyarakat bukan Islam terdahulu seperti di zaman Mesir kuno,Yunani Greek, bangsa Romawi dan China kuno. Dan ritual ini masih dipraktikan oleh sebagian agama seperti Kristian, Judaism, Buddhism, Hindusim, Jainism dan sebagainya.
Konsep puasa difahami oleh agama-agama umumnya sebagai satu kaedah penyucian jiwa dan raga manusia, selain sebagai langkah penyatuan dan ketakwaan kepada Tuhan. Secara resmi konseptualnya puasa difahami sebagai suatu tindakan ‘menahan diri daripada melakukan sesuatu’. Justeru walaupun amalan berpuasa ini terdapat dalam agama-agama lain, puasa dari segi syariat dan pengisiannya adalah berbeda-beda.
Dalam agama Yahudi, amalan berpuasa telah wujud dalam beberapa hari berdasarkan kalender bulan Yahudi. Pihak synagogue juga berkuasa menyuruh penganut Yahudi untuk berpuasa apabila ditimpa musibah. Namun amalan berpuasa yang wajib ialah pada hari yang dinamakan Yom Kippur (Hari Penebusan atau Pembersihan Dosa), satu-satunya puasa yang diperintahkan dalam hukum Taurat (Mosaic Law). Setelah menfokuskan 10 hari untuk tujuan bertaubat sejak Rosh Hashanah (Tahun Baru mengikut kalender Yahudi), diikuti dengan berpuasa pada hari Yom Kippur untuk memastikan taubat dan diampunkan dosa-dosa tahun sebelumnya kerana mengikut kepercayaan mereka pada hari Yom Kippur itulah nasib semua penganut Yahudi ditentukan untuk tahun berikutnya.
Terdapat pula segolongan penganut Yahudi ortodoks yang berpuasa seperti mana puasa Nabi Yahya, Nabi Musa dan Nabi Ilyas yang berpuasa selama empat puluh hari lamanya. Ada juga yang hanya berpuasa pada hari Isnin dan Khamis secara sukarela. Adapun pada hari Yom Kippur, golongan Yahudi berpuasa sejak terbenamnya matahari sehinggalah terbenamnya matahari keesokkan harinya menjadikan mereka berpuasa selama lebih kurang 25 jam.
Dalam agama Kristian waktu berpuasa tidak ditetapkan secara spesifik oleh agama, semisal Kristen Protestan tidak mewajibkan untuk berpuasa, sedangkan Kristen Katolik mewajibkan untuk berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Amalan berpuasa dalam agama Kristian pada masa ini telah mengalami perubahan apabila tidak ada pengkhususan terhadap amalan berpuasa apabila ia dianggap perbuatan sukarela. Ada yang menganggap Bible hanya memperkenalkan puasa sebagai sesuatu yang baik dan bermanfaat. Namun tradisi pernah membuktikan penganut Katolik berpuasa selama 40 hari bermula dari “Ash Wednesday” sehingga hari “Easter”. Mereka juga berpuasa pada hari “Good Friday”, “Rogetion Days”, “Ember Day” dan hari-hari lain secara sukarela.
Sementara puasa dalam agama Hindu, berpuasa pada hari ekadasi ini dengan tujuan dan kepercayaan bahwa hari tersebut dapat menghilangkan semua dosa sekaligus merubah tonasib hidup mereka, bahkan dapat meningkatkan kekuatan dalam mereka. Bagi yang tidak mempunyai kekuatan untuk berpuasa tanpa makan dan minum, mereka dibenarkan memakan buah-buahan, sayur-sayuran dan meminum susu.
Adapun puasa dalam agama Buddha disebut sebagai Uposatha, puasa bukanlah merupakan suatu perbuatan wajib dalam agama Buddha, sekiranya ada penganut agama Buddha yang berpuasa. Itu selalu dilakukan berdasarkan kalender agama Buddha yang juga bergantung kepada peredaran bulan, berpuasa dilakukan pada bulan cerah dan bulan purnama atau hari 1 dan 15 kalender Buddhist. Uposatha difahami dengan maksud hari yang dilalui dengan berpuasa.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhan? Jumhur ulama dan sebagian pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhan. Pendapat ini dilandaskan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah : “Hari ini adalah hari Asyura’, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya.”
Sedangkan madzhab Hanafi mempunyai pendapat lain: bahwa puasa yang diwajibkan pertamakali atas umat Islam adalah puasa Asyura’. Setelah datang Ramadhan Asyura’ dirombak (mansukh). Madzhab ini mengambil dalil hadisnya Ibn Umar dan Aisyah ra.: diriwayatkan dari Ibn ‘Amr ra. bahwa Nabi saw. telah berpuasa hari Asyura’ dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu. Dan ketika datang Ramadhan maka lantas puasa Asyura’ beliau tinggalkan, Abdullah (Ibnu ‘Amr) juga tidak berpuasa”. (H.R. Bukhari).
“Diriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa Asyura’ pada masa jahiliyah. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa hari Asyura’ sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Dan Rasul berkata, barang siapa ingin berpuasa Asyura’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pada masa-masa sebelumnya, Rasulullah biasa melakukan puasa Asyura’ sejak sebelum hijrah dan terus berlanjut sampai usai hijrah. Ketika hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa (Asyura’), beliau pun ikut berpuasa seperti mereka dan manyerukan ke ummatnya untuk melakukan puasa itu.
Hal ini sesuai dengan wahyu secara mutawattir (berkesinambungan) dan ijtihad yang tidak hanya berdasar hadis Ahaad (hadis yang diriwayatkan oleh tidak lebih dari satu orang). ”Ibn Abbas ra. meriwayatkan: ketika Nabi saw. sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi sedang melakukan puasa Asyura’, lalu beliau bertanya: (puasa) apa ini? Mereka menjawab: ini adalah hari Nabi Saleh as., hari di mana Allah swt. memenangkan Bani Israel atas musuh-musuhnya, maka lantas Musa as. melakukan puasa pada hari itu. Lalu Nabi saw. berkata: aku lebih berhak atas Musa dari kalian. Lantas beliau melaksanakan puasa tersebut dan memerintahkan (kepada sahabat-sahabatnya) berpuasa. (HR. Bukhari).
Adapun puasa Ramadhan diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, maka lantas, sebagaimana madzhab Abi Hanifah, kewajiban puasa Asyura terombak (mansukh). Sedang menurut madzhab lainnya, kewajiban puasa Ramadhan itu hanya merombak kesunatan puasa Asyura’.
Bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, mestinya umat yang sudah punya peradaban maju terus menjaga dan memaknai bahwa puasa bukan hanya dapat mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta, tetapi lebih dari itu dapat meningkatkan kesadaran sosial, menumbuhkan rasa cinta damai kepada sesama. Sebagai pesan sosial ibadah puasa adalah agar kita tidak konsumtif, ulet menghadapi tantangan, senantiasa menaruh empati pada problem orang lain, serta mengedepankan moral dan nurani sebagai panduan hidup.
Dengan ibadah puasa, seorang yang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya lalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi dengan Tuhan, sebuah proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai ilahi dalam diri seseorang diharapkan akan terjadi. You are what you think, kata orang bijak.
Bagi sebagian orang, bulan suci Ramadhan merupakan bulan untuk meng-up grade dan revitalisasi diri sehingga hidup ini senantiasa dipandu kekuatan spiritual. Lewat puasa kita kembalikan dan perkokoh nurani untuk menjadi pemimpin kehidupan. Rasulullah SAW bersabda, “Seandainya manusia mengetahui keistimewaan bulan Ramadhan, niscaya mereka ingin agar sepanjang tahun adalah Ramadhan”. Wallahu a’lam.
Oleh : H. Kadar Santoso
– Pengurus DPP IJMI (Ikatan Jurnalis Muslim Indonesia)
Komentar