JURNALREALITAS.COM, OPINI – Setiap kita mendengar kata “bangkit”, kita selalu mengkonotasikan dengan arti berdiri. Namun sering kali kita lupa, untuk bangkit, kita harus jatuh terlebih dahulu.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, ditetapkan oleh Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI. Bermaksud untuk memperingati bangkitnya rasa nasionalisme pemuda Indonesia saat itu, yang dipelopori oleh Organisasi Boedi Oetomo tahun 1908.
Organisasi yang berisi para pemuda dan pelajar dari beberapa kota itu, memberi nama Boedi Oetomo, lantaran mempunyai makna yang dalam. Boedi (budi) artinya perangai atau tabiat. Sementara Oetomo (Utomo) artinya baik atau luhur. Jadi arti organisasi ini adalah perkumpulan yang berdasarkan keluhuran budi dan kebaikan perangai/tabiat.
Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia maju (Indie Vooruit) di bidang pertanian, peternakan, perdagangan, teknik industri, termasuk kebudayaan.
Lalu, bagaimana menghubungkan pemuda pada masa itu dengan sekarang? Apa yang perlu dibangkitkan?
Tentu beda jaman, beda tantangan. Tantangan pada masa itu adalah belumnya bangsa ini merdeka dan masih individualisme. Namun, setelah bangsa ini merdeka, apakah kita benar-benar merdeka.
Permasalahan bertambahnya pengangguran, anak putus sekolah, kasus kriminal, terorisme, korupsi, perang terhadap narkoba, perubahan budaya, dan lain sebagainya. Menandakan bahwa masih banyaknya tugas kita agar setiap individu bisa benar-benar merasakan makna kemerdekaan. Merdeka dari rasa takut, rasa malas, rasa individualisme, kebodohan, kesesatan, kerapuhan, kesombongan, dll.
Belum lagi permasalahan kesehatan mental generasi masa kini. Bukan hanya anak-anak. Namun, orangtua pun banyak yang mengalami gangguan kesehatan mental. Terlihat dari mudahnya terbakar emosi dan hanya memikirkan kesenangan pribadi atau kelompok.
Kehadiran sosial media yang seharusnya jadi ajang silahturahmi, memperkaya wawasan, dan memperluas jaringan, sering kali disalahgunakan.
Bagaimana cara menyikapinya? Tentu saja dengan mengontrol diri. Membatasi pengaruh negatif dan menambah pengaruh positif pada kehidupan kita.
Kita sadar, tidak mudah menyikapinya. Karena menjadi lebih baik itu sulit dan tidak menyenangkan. Sementara menjadi buruk itu lebih mudah dan menyenangkan. Karena kita hanya memikirkan diri sendiri.
Seolah kita lupa, bahwa kemerdekaan kita raih setelah ada persatuan dan kesatuan. Bukan dari lahirnya individualisme.
Jadi, bila kita masih memikirkan kesenangan diri sendiri, itu menandakan bahwa kita belum merdeka. Merdeka dari mementingkan kesenangan pribadi. Masih banyaknya pelanggaran hukum, mengartikan masih banyak direbutnya kemerdekaan orang lain. Alias tidak memikirkan dampaknya pada orang lain.
Kebangkitan Nasional itu bukan sekedar peringatan. Tapi sesuatu yang harus diingat setiap hari. Untuk membatasi perangai/tabiat buruk, agar menjadi pribadi yang luhur dan berbudi yang anggun. Sehingga kita menjadi warga yang profesional, berpengalaman dan berinovasi setiap saat. Untuk mengisi kemerdekaan ini lebih bermakna bagi sesama.
Hasil tertinggi dari sebuah pendidikan adalah toleransi. – Hellen Keller –
Oleh: Imelda Stefanny
– Pemerhati Pendidikan Sosial dan Budaya
– Jurnalis JurnalRealitas.com
Komentar