JURNALREALITAS.COM, OPINI – Beberapa hari lalu, umat Budha seluruh dunia, baru saja merayakan Tri Hari Suci Waisak. Meski agama Budha menjadi agama minoritas saat ini, namun ada masanya menjadi mayoritas. Ketika nenek moyang kita, termasuk raja2 beragama Budha.
Bayangkan, berapa banyak warisan yang ditinggalkan oleh mereka yang masih bisa kita nikmati hingga saat ini? Sebut saja candi-candi, peralatan perang, perhiasan, kitab-kitab. Yang semua itu tak ternilai harganya.
Mengapa nenek moyang kita menganut agama Budha? Agama Budha terkenal dengan ajaran meditasinya. Di mana saat Sidharta Gautama sedang mengalami masa kegelisahan dan kekhawatirannya sebagai anak raja.
Anak raja kok gelisah dan khawatir? Bukankah ayahnya berharta banyak, punya tahta, punya bawahan banyak yang menuruti segala permintaannya?
Kekhawatiran Sidharta bukanlah dari apa yang Ia sudah miliki. Melainkan pada apa yang ada di luar kendalinya. Akan peristiwa sakit, tua dan mati. Beliau ingin mencari tahu bagaimana mengatasinya. Namun, bukan formula yang ditemukannya dalam bentuk obat, melainkan kedamaian bathin.
Sejak pandemi melanda dunia, banyak orang yang gelisah, mengeluh dan khawatir secara berlebihan. Mulai dari pekerjaan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, dsb. Siapa yang tidak?
Mungkin, ini saatnya bagi kita untuk bermeditasi. Menemukan kedamaian bathin sehingga kita bisa berpasrah pada hidup yang sementara ini. Tentu saja disesuaikan dengan kepercayaan dan keyakinan yang kita anut saat ini.
Berhubung namanya hidup ini sementara, ada baiknya kita manfaatkan dengan perbuatan baik. Mensyukuri atas apa yang diberi Sang Pencipta. Menyerahkan kehidupan ini pada kehendakNya. Juga melakukan yang terbaik bagiNya.
Mensyukuri di sini bukan berarti kalau dikabulkan saja permohonannya. Bahkan, saat permohonan kita tidak dipenuhi pun, kita wajib bersyukur untuk hal-hal lain yang diberikanNya. Contoh saja udara, pepohonan, alam.
Sementara menyerahkan hidup, bukan berarti menyerah tanpa usaha. Karena itu yang membedakan kita dengan mahluk hidup lain. Kita diciptakan untuk berjuang, lebih baik lagi.
Bahkan seorang Sidharta ketika menemukan hikmat dan keikhlasan, Ia tetap berusaha menyadarkan pasukan yang hendak mengganggu ketenangan tapaNya. Mereka pun diajak untuk berdamai dengan hidup.
Kelihatannya mudah, ya? Memang mudah bila kita selalu merasa kecil. Tapi, sering kali sebagai manusia kita lebih mudah bermegah dan pongah dengan jabatan, kekuasaan, kehebatan dan harta kita.
Padahal, di mataNya, mau kaya-miskin, pintar-bodoh, hebat-lemah, sama berharga bagiNya. Kita semua menyempurnakan hidup lebih berwarna.
Itulah sebabnya kita perlu merayakan Waisak, sebagaimana umat Islam di Yerusalem turut merayakan Natal. Karena peninggalan-peninggalan bersejarah, membuat mata dunia tertuju pada kita.
Oleh: Imelda Stefanny
–Pemerhati Pendidikan, Sosial, dan Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com
Komentar