JURNALREALITAS.COM, OPINI – Istilah “Lempar batu sembunyi tangan”, mungkin sudah jarang dipakai/diketahui oleh anak-anak jaman now . Namun, maknanya bisa menjadi renungan bagi kita.
Banyak orang tua yang melakukan aksi ini, ketika dihadapkan pada masalah tanggung jawab, disiplin dan kedewasaan anak. Umumnya, antara ayah dan ibu akan saling menyalahkan atau melemparkan kesalahan.
Beda, ketika anak mereka mengukir prestasi, membanggakan, dan bersahaja. Pasti ayah dan ibu akan mengaku, sifat itu datang dari mereka. Hal inilah yang harus diperbaiki.
Perkataan orangtua kita jaman dulu pun, terkadang jadi modal andalan kita untuk menegur/mengingatkan anak. Padahal, kata-kata itu sudah tidak relevan lagi. Atau, malah melukai pikiran dan bathin mereka.
Contoh saja, kata “menyusahkan orang saja” atau “tahu begini tidak usah dilahirkan” atau “pikir pakai otak”, atau “seperti orang baru ketemu makanan saja”, dsb.
Disengaja atau tidak, kata-kata tersebut menghina, merendahkan, dan menyakiti. Dan itu mempengaruhi karakter anak ke depannya. Meski, mungkin kata-kata itu tidak ditujukan kepada anak mereka, melainkan orang lain. Namun, sekali tersebut, tidak semudah itu melupakan.
Yang lebih parahnya, mengurangi rasa kepercayaan diri mereka sedikit demi sedikit, bila perkataan itu ditujukan ke mereka. Atau, bila ditujukan ke orang lain, anak itu akan mudah sekali menghina atau merendahkan orang lain juga.
Lalu, ketika anak mencoba mencari nafkah karena tidak ingin menyusahkan, misalnya, banyak orangtua merasa terhina. Karena tentu saja pekerjaan anak masih sekolah, pasti hanya jadi buruh. Banyak anak lari/kabur dari rumah lantaran kata-kata ini. Dan mencoba bertahan hidup di jalanan.
Atau perkataan “tahu begini tidak usah dilahirkan”, pasti si anak akan menjawab, “saya tidak minta dilahirkan kok.” Selanjutnya pasti situasi akan bertambah parah. Karena keduanya merasa pernyataannya benar.
Ketika anak jaman sekarang mendengar cerita Malin Kundang, maka dia akan bertanya dengan kritis. Namun, seringkali orangtua dengan pendidikan asuh yang tidak berkembang, akan membela pada ibunda Malin yang terlupakan dan disangkal habis-habisan.
Sementara orangtua yang mempunyai pola asuh yang mengikuti jaman, dia akan melihat dari kacamata si Malin juga. Bukan tidak mungkin bila Malin dimanja orangtuanya, perkataannya selalu dianggap lucu, menghibur, bahkan benar. Atau orangtuanya tidak membekali banyak hal, sehingga Malin harus belajar berjuang sendiri.
Atau, sangkalan Malin adalah cerminan orangtuanya, ketika Malin berbuat nakal. Ayah dan ibunya saling menyangkal sifat itu datang dari mereka. Bisa saja.
Banyak cerita dongeng, bahkan sinetron, yang membuat tokoh antagonis dan protagonis. Padahal, di kehidupan nyata, manusia tidak ada yang sempurna. Yang baik pun bisa menjadi jahat, yang jahat bisa menjadi baik.
Hal- hal seperti ini, sebenarnya, yang sering membuat kita tidak percaya atau tidak nyaman pada yang namanya perubahan. Bahwa manusia bisa berubah sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman hidupnya.
Bila kita melihat cerita Cinderella, misalnya. Kalau, ia tidak dijahati, dia tidak akan berjumpa dengan pangeran. Dan nasibnya tidak akan berubah menjadi baik. Atau cerita Frozen, yang mengajarkan anak pada mengontrol diri/emosi.
Sehingga anak diajarkan pada ketidaksempurnaan, pembelajaran, dan penggalian sudut pandang. Bahwa kita perlu melepas kaca mata kuda kita supaya bisa melihat dari banyak sisi.
Cara pandang orang, tentu saja berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman hidupnya.
Sementara cara pandang anak bisa diubah lewat diskusi-diskusi dalam keluarga. Yuk, biasakan anak melihat satu masalah dari banyak sisi!
Oleh: Imelda Stefanny
–Pengamat, dan Pemerhati Pendidikan
-Jurnalis JurnalRealitas.com
Komentar