JURNALREALITAS.COM, OPINI – Sebagai negara yang berada di lingkaran api atau negara yang mudah terkena bencana alam. Ditambah lagi dengan keragaman suku, agama, budaya, sosial, ekonomi, latar belakang pendidikan, keluarga dll. Bukanlah hal mudah menyatukan semua itu.
Kita beruntung telah dibekali banyak modal dari para leluhur kita. Mulai dari aneka budaya dan tradisi, bahasa daerah, tarian, upacara, peninggalan sejarah, termasuk ilmu moral yang terapkan turun-temurun. Mulai dari sopan-santun, adat istiadat, tata krama, gotong royong, tenggang rasa, dan sebagainya.
Semua itu seharusnya memudahkan kita, dalam mendidik generasi muda bangsa.
Kehadiran teknologi sesungguhnya bukan penghalang. Harusnya, kehadiran teknologi memudahkan kita untuk mengenal dan mengetahui budaya dan tradisi dari suku-suku seluruh Indonesia. Menyebar dan mengingat kembali ajaran-ajaran moral leluhur kita, yang sering kali terlupakan/terabaikan.
Namun, untuk membuat generasi muda kita tertarik pada pengenalan karakter bangsa, diperlukan ketertarikan untuk mencari tahu.
Tantangannya adalah, bagaimana membuat anak-anak penerus bangsa tertarik untuk downlad, subscribe, follow, dan berinteraksi secara aktif dalam situs-situs yang dibuat untuk mengenalkan budaya dan tradisi nasional tersebut lewat aplikasi, maupun kuis, sayembara dan permainan atraktif.
Semua itu harus membanjiri dunia maya, baru bisa menjadi tren dan perubahan perilaku. Selain itu, harus melibatkan semua pihak untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Di sosial media, konten-konten yang bersifat negatif, macam perundungan, pelecehan, penghinaan, dan sejenisnya, lebih cepat viral. Pasti semua disebabkan bergesernya nilai-nilai luhur dari masyarakat itu sendiri.
Contoh saja, berapa sering kita melihat video viral pelanggaran dan kejahatan di ruang publik, tidak seimbang dengan konten-konten yang bersifat positif.
Konten-konten yang bersifat positif justru sering kita banjiri dengan komentar-komentar negatif. Contohnya saja saat seorang tokoh publik memberi bantuan, dibilang pamer. Atau artis menikah di tempat mewah, dibanjiri hujatan. Tanpa publik lihat, bahwa mereka pun mulai dari bawah. Harus bekerja keras untuk memperoleh kesuksesan, dsb. Padahal, kalau netizen berada di posisi mereka pun, belum tentu melakukan hal yang berbeda.
Konten-konten negatif, menimbulkan efek yang negatif di ruang publik. Bila setiap hari kita dibiasakan melihat, mendengar, menyaksikan hal-hal negatif, maka yang terjadi adalah perubahan pola pikir dan sikap.
Lalu, batas-batas dalam pikiran dan rasa kita pun diterabas dan terkikis.
Meski diatur dalam peraturan apapun, tidak akan mudah mengubah pola pikir, kebiasaan orang untuk membuang racun yang sudah mengkontaminasi pikiran dan perilaku seseorang.
Rasanya, tidak hanya di Indonesia. Namun seluruh dunia. Konten-konten yang bersifat merundung, menghina, menghujat, memojokkan, mengadili, mengancam, merendahkan orang lain, sudah menjadi makanan sehari-hari pengguna sosial media.
Kebiasaan sopan santun, tata krama, adat istiadat, tenggang rasa entah dipendam di mana.
Padahal ujaran-ujaran negatif, tidak membuat seseorang sukses. Malah menjadi pribadi yang rendah oleh ulahnya sendiri.
Untungnya, jejak rekam digital tidaklah mudah dihapuskan. Perusahaan hingga institusi pendidikan dengan mudah menyeleksi masuk karyawan maupun peserta didiknya, hanya lewat sosial media mereka saja. Wawancara bukan lagi sesuatu yang bisa dijadikan acuan.
Bahkan, perusahaan maupun institusi pendidikan bisa mengakses keluarga dati calon karyawan maupun peserta didik dengan mudah.
Seleksi lewat jejak digital pun dianggap lebih ampuh untuk menyortir orang. Dan ini sudah sering dilakukan perusahaan-perusahaan besar maupun institusi pendidikan di seluruh dunia.
Jadi, bila anda ingin mengungkapkan emosi lewat sosial media, sebaiknya anda pikirkan konsekuensi bagi diri anda, keluarga, maupun keturunan anda.
Apapun konten yang kita sebar, pastikan itu positif, kreatif, memotivasi, dan inovatif.
Berikut nasihat Steve Jobs, “Waktu anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan mencampuri hidup orang.”
Oleh: Imelda Stefanny
–Pemerhati Pendidikan Sosial dan Budaya
-Jurnalis JurnalRealitas.com
Komentar